Ahok dan 'Cheerleadernya': Ketika Balada 'Killing The Messenger' Menjadi 'Killing Himself'


[PORTAL-ISLAM]  Kill the messenger (membunuh si pembawa pesan) sejatinya sebuah trik kuno. Jauh sebelum teknologi berkembang pesat, akses informasi hanya bisa didapat dari seorang pembawa pesan (messenger). Messenger kerap membawa pesan yang tidak ingin didengar si penerima. Saat seorang penguasa dan pendukungnya tak suka atau tak ingin mendengar pesan dari sang pembawa pesan, cara paling mudah adalah dengan membunuhnya.

Kill the messenger telah terjadi sejak abad pertama sebelum masehi. Kisahnya terjadi saat perseteruan antara Romawi dan Kerajaan Armenia. Adalah pembawa pesan dari pemimpin pasukan Romawi, Lucullus, yang mendatangi raja Armenia, Tigranes.

Pihak Romawi mengirim pesan lewat sang messenger yang menyatakan seruan agar Tigranes menyerahkan musuh Romawi yang mengungsi ke tanah Armenia. Karena tak suka dengan pesan itu, pasukan Tigranes lantas memenggal kepala sang messenger Romawi.

Di era saat ini, kill the messenger sudah menjadi frasa metafora. Tapi substansinya masih sama, yakni reaksi atas ketidaknyamanan dan ketidaksukaan atas sebuah informasi yang diucapkan oleh si pembawa informasi. Karena tidak suka dengan isi informasi, maka si pembawa informasi dihabisi.

Strategi kill the messenger sedang menjadi pembicaraan di dunia olahraga pekan ini. Ini bermula dari perseteruan antara bintang Cleveland Cavaliers, LeBron James dengan Charles Barkley. LeBron yang kini bermain untuk Cleveland Cavaliers berang dengan pernyataan legenda basket 1990-an yang kini menjadi analis di NBA TV itu.

Barkley mengkritisi sikap LeBron yang dinilai cengeng karena selalu menuntut tim untuk melayaninya. Ini tak terlepas ucapan LeBron yang menganggap timnya perlu tambahan seorang playmaker.

"Di atas itu, semua tindakan LeBron (meminta tim mendatangkan playmaker) adalah tidak pantas dan cengeng," ucap Barkley, seperti dilansir ESPN.

Kuping LeBron panas dengan ucapan legenda Phonix Suns tersebut. LeBron pun melakukan serangan balik pada Barkley.

"Saya bukan seorang yang pernah melempar seseorang dari jendela. Saya tak pernah meludahi anak kecil. Saya tak pernah berhutang di Las Vegas. Saya tak pernah bilang saya contoh, tapi saya pun tak pernah tak muncul di laga All Star karena sedang pesta sepanjang pekan di Vegas," ucap LeBron menyindir balik masa lalu Barkley.

Ucapan eks pemain Miami Heat memicu kontroversi publik. LeBron dinilai mencoba menghabisi karakter Barkley yang sejatinya menjalankan tugas sebagai seorang analis basket.

Bukan substansi kritik yang dijawab. LeBron malah coba mengaburkan isu dengan menghabisi karakter si pengkritik, Barkley.

Tapi Barkley cukup cerdas untuk merespons segala tudingan itu. "Saya tidak membawa persoalan ini menjadi personal dengannya. Dia masih kecil saat saya bermain. Jadi mungkin dia meng-google saya, dan saya apresiasi itu," balas Barkley saat diwawancara ESPN.

Barkley pun menilai segala tudingan persoalan masa lalu kepadanya tidaklah penting. Sebab persoalan yang terjadi masa kini adalah LeBron bukan lagi Barkley yang sudah pensiun.

"Jadi saat anda tak suka dengan sebuah pesan maka yang anda lakukan adalah membunuh si pembawa pesan (kill the messenger)," kata Barkey.

Dia melanjutkan perkataannya, "Beberapa yang LeBron sampaikan terkait (masa lalu) saya ada benarnya, tapi itu tak membuat pesan yang saya sampaikan (saat ini) menjadi salah," kata Barkley tegas.

Perkataan Barkley itu merupakan jawaban telak atas strategi kill the messenger yang dimainkan LeBron. Strategi yang sejatinya sering dimainkan oleh politikus ketimbang olahragawan.

Dan di dunia politik di Indonesia, strategi kill the messenger kini menjadi senjata bagi pihak-pihak yang tidak bisa mengelak dari kritik. Karena tak bisa menjawab kritik, maka yang dibunuh adalah si penyampai kritik.

Dalam kontentasi politik di Indonesia yang begitu dinamis, kill the messenger jamak dilakukan sebagai strategi counter-attack. Terlebih sekarang adalah eranya sewa menyewa konsultan di sosial media, bahasa kerennya buzzer.

Ya, tak hanya bertahan untuk mengelak dari kritikan yang tak bisa dijawab, tapi kill the messenger juga dilakukan para buzzer untuk menghancurkan lawan. Konon, bayaran buzzer untuk menghancurkan lawan lebih besar ketimbang bayaran untuk pencitraan positif sang klien.

Saya ingin merujuk strategi kill the messenger yang kerap ditujukan pada pihak-pihak yang selama ini mengkritisi atau berseberangan dengan penguasa.

Pihak yang mengkritisi atau mengambil posisi berseberangan dengan penguasa memang kerap mendapat serangan. Sayangnya, sayangnya tak melulu serangan balik itu terkait substansi untuk menjawab kritikan si pengkritik. Tapi melebar ke personal kritikus.

Salah satu contohnya menimpa akademisi UI, Rocky Gerung. Rocky yang kerap melontarkan kritik pada pemerintah jadi sasaran serangan balik. Sejumlah tudingan personal mampir kepada Dosen Filsafat UI itu.

Ini seperti tudingan dia dekat dengan kalangan politik tertentu. Tapi, tak ada yang berani menjawab substansi kritikan dari pengajar filsafat politik Universitas Indonesia itu.

Ini seperti kritikan terbaru Rocky soal yang menyebut penguasa adalah pembuat hoax terbaik. Pernyataan yang membuat merah para penjilat kekuasaan.

Pernyataan Rocky ini sejatinya didukung fakta soal hoax yang ditebar para penguasa setiap lima tahun sekali dalam pemilu. Jika rakyat bisa dituntut menyebar hoax, maka mengapa pemimpin yang berjanji tidak akan bagi-bagi jabatan saat kampanye itu tak juga terjerat kasus hoax?

Substansi kritik tajam itulah yang membuat pihak-pihak yang tak senang melancarkan strategi kill the messenger. Cara paling mudahnya adalah dengan menyebar kabar terkait persona sang tokoh.

Terkait Rocky, dia dituding merupakan pengamat yang merapat ke salah satu poros kekuasaan. Saya pribadi tidak tahu apakah tudingan itu betul atau murni fitnah. Tapi satu hal yang jelas, tudingan tak menggugurkan bobot kritik Rocky yang hingga kini tak bisa dijawab oleh penguasa atau para 'cheerleadernya'.

Strategi kill the messenger juga dilakukan para pendukung Ahok yang kerap membully lawan politiknya di Twitter. Strategi ini juga menjadi senjata untuk meredam gugatan kelompok massa dalam kasus penistaan agama yang menjerat Ahok.

Ini seperti saat awal terjadinya demonstrasi pada akhir Oktober 2016. Strategi kill the messenger yang dilakukan Ahooker adalah dengan memotret segelintir massa yang beraksi dengan menginjak rumput kala itu. Meski tak terverifikasi apakah itu sekadar settingan, cara itu coba menghancurkan simpati publik pada peserta aksi.

Namun sayangnya, aksi ini bisa dilawan balik oleh kubu anti-Ahok yang menunjukkan sejumlah bukti bahwa tanaman yang rusak hanya sebatas settingan. Malah simpati pada aksi semakin besar dengan munculnya aksi bela Islam 4 November 2016 (411).

Kubu pro Ahok tak tinggal diam. Mereka balas merespons aksi 411 itu dengan melabeli gerakan itu anti-Bineka. Kembali strategi kill the messenger untuk memadamkan gejolak. Tapi lagi-lagi strategi para buzzer itu hanya gaduh di sosial media tanpa efek di dunia nyata.

Sebab buktinya rancangan aksi tandingan yang mereka lakukan hanya dihadiri massa dengan jumlah yang begitu minim.

Malah aksi ketiga massa anti-Ahok makin besar yakin pada 2 Desember 2016 (212). Namun kali ini, para buzzer masih belum kapok. Mereka menggunakan usaha kill the messenger dengan mengaitkan 212 dengan sejumlah aktivis yang ditangkap. Mereka mengaitkan aksi makar guna 'membunuh pesan' dari 212.

Strategi kill the messenger juga dilakukan Ahok dan kubunya dalam sidang. Caranya adalah dengan menghabisi persona saksi atau pelapor dalam sidang kasus penistaan agama. Korban utamanya adalah Novel Bamukmin yang dibully habis usai insiden di BAP-nya yang menyebut kata 'fitsa hats'.

Strategi berhasil dengan manis. Ahok di atas angin, sementara saksi habis dibully habis-habisan. Saksi lain, Irene Handono pun juga tak ketinggalan coba dihabisi karakternya. Dia dituding berbohong soal riwayat pendidikan. "Ketika saya di pengadilan, duduk sebagai saksi hampir lima jam, yang ditanyakan penasihat hukum Ahok menyimpang dari persoalan penodaan agama. Dan cenderung pembunuhan karakter," ujar Irene, Kamis (2/2).

Benar atau tidak tudingan itu tidaklah penting. Yang penting si pembawa pesan terbunuh karakternya. Sedangkan pesan yang coba disampaikan terkait substansi kasus jadi kabur.

Irene bukan orang terakhir. Ketua MUI dan juga Rois Aam NU, Ma'ruf Amin menjadi saksi lain yang coba 'dihabisi' oleh kubu Ahok. Berbagai serangan personal dilakukan. Mulai dari tudingan menutupi riwayat, merapat ke salah satu kandidat, hingga yang paling utama telepon antara sang Rois Aam PBNU itu dengan SBY menyangkut order fatwa.

Usai sidang strategi membunuh karakter Kiai Ma'ruf terus dilancarkan. Sejumlah Ahooker di sosial media tak ragu menghujat kiai Ma'ruf. Seperti Denny Siregar yang menyebut Kiai Ma'ruf menjual agama demi dunia. Strategi kill the messenger terhadap kiai Ma'ruf terlihat begitu rapih.

Hingga malam usai sidang, yakni Selasa (31/1) sekitar pukul 24.00 WIB, lini masa di sosial media masih banyak yang menyerang Kiai Ma'ruf.

Namun para buzzer hingga cheerleader itu tak sadar bahwa yang dia coba hancurkan karakternya itu adalah seorang ulama karismatik. Saya pribadi percaya para ulama punya keistimewaan dan kemuliaannya tersendiri.

Direndahkan, derajat sang ulama malah akan semakin tinggi. Sekalipun pelaku yang coba menyerang punya banyak kuasa, tapi bisa hancur begitu saja bila yang dihadapi ulama. Ini terjadi dalam usaha kill the messenger terkait Kiai Ma'ruf.

Hingga akhirnya arus perlawanan bak tsunami datang menghantam para pembully sang kiai. Dia yang coba melecehkan kiai Ma'ruf di dalam sidang atau di media sosial kini tunggang-langgang.

Ini setelah umat utamanya NU merapatkan barisan demi membela sang kiai karismatik. Sehari usai sidang, atau Rabu (1/2) bola berbalik arah. Ahok, kuasa hukum, hingga pendukungnya di sosial media buru-buru 'menjilat ludah'.

Ahok meminta maaf. Sang kuasa hukum sibuk merevisi perkataannya di media. Sedangkan buzzer-buzzer sibuk mengapus unggahannya.

Tapi semua sudah terlambat. Massa sudah lanjur marah. Terlebih ini bukan usaha pertama yang dilakukan untuk menyerang kiai Ma'ruf. Sebelumnya, kiai Ma'ruf juga pernah diserang dengan sebaran foto antara dia dengan seorang wanita. Serangan itu datang beberapa saat setelah MUI mengeluarkan fatwa terkait Ahok.

Serangan dilakukan aktivis Twitter pro Ahok bernama Mas Teddy Bayupatti. Dalam foto yang dia unggah, 'selebtweet' pro Ahok ini malah menggunakan kata-kata yang kurang sopan kepada Kiai Maruf.

"Hebat nih Pak Maruf Amin Umur 73 tahun k***y sama wanita muda umur 30 tahun," ujarnya yang menanggapi salah satu berita media online dan menampilkan foto Ma'ruf Amin dan istrinya di laman Twitter.

Usaha itu pun tak manjur. Sebab kemuliaan kiai terlalu tinggi untuk sekadar dinodai para buzzer. Sebab emas tetaplah emas sekalipun coba dimasukkan ke dalam kubangan. Sedangkan bangkai tetaplah busuk sekalipun ditutupi permadani.

Walhasil kini strategi kill the messenger malah berubah menjadi killing himself alias bunuh diri.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ahok dan 'Cheerleadernya': Ketika Balada 'Killing The Messenger' Menjadi 'Killing Himself'"

Post a Comment